Salahuddin al-Ayyubi (صلاح الدين يوسف ابن أيوب/ Saladin, Salah ad-din) lahir dengan nama Yusuf yang kemudian ia disebut dengan nama Salahuddin (“kebenaran dari agama/keyakinan/jalan hidup”) anak dari seorang yang terkenal dari suku Kurdi yang bernama Ayyub yag lebih dikenal dengan nama Najm ad-Din (“bintang terang agama”). Beliau lahir di sebuah kastil di Tikrit (Najm ad-Din adalah pengurus kastil tersebut, namun kepemilikan dipegang oleh sahabatnya, Bihruz) pada tahun 532 H (1137 M) pada masa kekuasaan Khalifah al-Muqtafi li-Amrillah (“dia yang menjalankan perintah Allah”) dari dinasti Abbasiyah. Pada malam kelahirannya terdapat peristiwa tidak menyenangkan, yaitu ketika pamannya, Shirkuh, bertengkar dengan seorang komandan kastil yang bernama Isfahsalar karena ia telah melecehkan seorang perempuan dan perempuan tersebut melaporkan perbuatan nista tersebut kepada Shirkuh sambil berurai air mata. Dalam kemarahannya, Shirkuh membunuh komandan tersebut, dan ketika berita tersebut terdengar oleh Bihruz, sontak ia mengusir Shirkuh, Najm ad-Din beserta keluarganya, termasuk Salahuddin. Mereka kemudian menuju ke Mosul.
Keluarga Salahuddin dan Perang Salib
Sesampainya di Mosul, Mesopotamia seorang pemimpin Arab yang tangguh, Imaduddin Zangi baru saja berkuasa dan sedang dalam usaha yang keras dalam mempersatukan orang-orang Arab dan Muslimin untuk melawan pasukan salib, penjajah dari Eropa. Pada saat itu dunia Arab sedang dalam carut-marut keterpecahan di mana Mesopotamia terpisahkan dari Syria, Antioch berseteru dengan Aleppo, Tripoli dengan Homs, Yerusalem dengan Damaskus, dan Sunni dalam puncaknya dalam melawan Syi’ah (terutama dinasti Fatimiyah di Mesir dan kaum Assassin dengan pusatnya di Alamut, keduanya penganut Syi’ah Ismailiyah). Mendengar berita kedatangan kedua bersaudara tersebut Zangi segera memanggil mereka dan menempatkan Najm ad-Din Zangi di Baalbek dan menjadikan Shirkuh sebagai komandan berpengaruh di pasukan barisan terdepan.
November 1144 pasukan Zangi merebut Edessa di utara Mesopotamia dan menundukkan provinsi-provinsi yang mendukung tentara Salib. Kejadian ini mengguncang dataran Eropa. Melalui seorang biarawan Cistercia, Bernard de Clairvaux Perang Salib baru diserukan. Raja Prancis Louis VI merupakan yang pertama untuk menyambut seruan tersebut. Bersamanya, ikut juga Ratu Eleanor de Aquitaine. Imaduddin Zangi meninggal pada tahun 1146 sebelum kedatangan pasukan Salib, dan beliau digantikan oleh tokoh yang lebih kuat, Nur ed-Din. Dua tahun kemudian, pasukan Salib berhasil dikalahkan dan hal tersebut memberikan kepercayaan diri yang besar untuk kaum Muslimin.
Salahuddin yang tumbuh di Baalbek mendapatkan pencerahan untuk menapaki jalan kebenaran, penuh semangat juang melawan orang kafir, dan untuk berkepribadian luhur dari Nur ed-Din. Di istana ia terkenal karena kesantunannya, kecerdasannya, kerendahan hatinya, serta belas kasihnya walaupun ia terbilang masih kecil. Di istana pula ia belajar untuk menekankan diri pada Jihad fi Sabilillah dan dalam dirirnya telah tertanam ayat berikut ini:
“Dan (untuk) mereka yang berjihad dengan keras pada kami (di dalam jalan kami), maka sungguh akan kami tunjukkan pada mereka jalan-jalan kami (Agama Allah–Tauhid). Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang muhsin (yang melakukan kebaikan)” [Al-Ankabut (29): 69– dengan terjemahan tafsiriyah dari Muhsin Khan]
Jalan Menuju Tampuk Kekuasaan
Pada tahun 1163 M (558 H), Nur ed-Din mengambil peluang untuk langkah selanjutnya untuk mempersatukan dunia Arab, yaitu dengan menyerang Dinasti Fatimiyah di Mesir yang Syi’ah dan kala itu memiliki perjanjian damai dengan tentara Salib. Dinasti Fatimiyah pun pada kala itu sedang dalam kekacauan, dan tentunya memberikan peluang besar bagi Nur ed-Din untuk beraksi. Nur ed-Din memerintahkan Shirkuh untuk melaksanakan rangkaian serangan ke daerah selatan, ditemani Salahuddin yang ketika itu berusia 26 tahun.
Pada tahun 1164, dengan Salahudddin sebagai pemimpin angkatan darat, Shirkuh berhasil merebut Kairo, namun didesak mundur ketika pasukan Salib datang membantu dinasti Fatimiyah. Tiga tahun kemudian invasi ke kota Kairo kembali gagal karena adanya tentara Salib. Sampai akhirnya pada penyerangan
yang kelima kalinya, pada 8 Januari 1169 (7 Rabi’ ats-Tsani 564 H) Shirkuh berhasil memasuki Kairo dengan kemenangan yang gemilang dan memproklamirkan dirinya sebagai raja baru bagi Mesir. Akan tetapi dua bulan kemudian ia meninggal, diduga diracun orang (menurut History Channel karena terlampau banyak makan (over-eating) (?)).
Kemudian Nur ed-Din mengangkat Salahuddin sebagai pengganti Shirkuh. Pemilihan ini tidak didasarkan karena kekuatan atau kebesaran pengaruh, melainkan karena Salahuddin menurutnya hanyalah bocah yang santun dan selalu menuruti keinginannya.
Salahuddin meminta kepada Nur ed-Din agar ayahnya, Najm ad-Din diizinkan untuk datang dan tinggal di Kairo agar kebahagiaannya terpenuhi, dan agar ia (Salahuddin) mengalami pengalaman yang serupa seperti Nabi Yusuf as. (yaitu ketika ayahnya, Nabi Ya’qub as. menemui Nabi Yusuf ketika Nabi Yusuf menjadi orang yang berkuasa di Mesir). Maka dikabulkanlah permintaannya. Ketika ayahnya tiba di Kairo Salahuddin sangat gembira, bahkan menawarkan jabatannya sebagai raja, namun ditolak oleh ayahnya, yang berpendapat bahwa keberhasilan Salahuddin dalam meraih tampuk kekuasaan merupakan berkah dari Allah dan karenanya, ia (Salahuddin) lebih pantas untuk menerimanya. Akan tetapi, dua tahun kemudian, ketika ayahnya sedang berkuda di depan gerbang Bab an-Nashr (“gerbang pertolongan/kejayaan”), ayahnya terlempar dari kuda dan meninggal.
Pada awalnya, Salahuddin menuruti perintah Nur ed-Din, yaitu ketika Nur ed-Din memerintahkannya untuk menghilangkan pengaruh Syi’ah dan menggantinya dengan tradisi Sunni. Namun, ketika di antara tahun 1169 dan tahun 1174 usaha pasukan Salib untuk melepaskan Kairo dari genggaman Damaskus (pusat kekuasaan Nur ed-Din) mengalami kegagalan, hubungan antara Salahuddin dengan Nur ed-Din menjadi tegang, setelah Salahuddin menolak untuk mengerjakan sebuah perintah dari Damaskus. Akhirnya pada tahun 1174, Nur ed-Din memutuskan untuk menyerang Kairo. Tetapi, pada tanggal 5 Mei pada tahun yang sama ketika tengah bersiap-siap, Nur ed-Din meninggal, dan kekuasaannya diwariskan ke putranya yang baru berusia sebelas tahun.
Setahun kemudian, Salahuddin memimpin pasukan dari Mesir untuk mengambilalih kekuasaan atas Suriah dan ia akhirnya dinobatkan sebagai Sultan untuk Mesir dan Suriah, dan sekarang daerah kekuasaan pasukan Salib terjepit di antara daerah kekuasaan Salahuddin.
Bersambung…
Sumber
Perang Salib III: Perseteruan Dua Kesatria: Salahuddin Al-Ayyubi dan Richard si Hati Singa | oleh James Preston, Jr.